Kamis, 13 Maret 2014

Pemerintah Harus Berani Stop Jual Gas Murah ke China

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemerintah Indonesia diminta untuk segera melakukan perubahan dalam perjanjian jual beli gas dengan pemerintah China. Pasalnya, kerugian negara atas penjualan gas murah ke China diperkirakan sekitar Rp 500 triliun per tahun.

Menurut pengamat migas dari Universitas Indonesia, Kurtubi, harus ada pihak yang bertangggung jawab atas penjualan gas murah tersebut selama 25 tahun. Ia memaparkan di negara manapun tidak ada yang mengunci mati kontrak harga gas, termasuk di negara komunis sekalipun.
"Jika ada pelanggaran hukum, maka dengan rekomendasi ini, Indonesia bisa bilang ke China, kalau tidak mau beli dengan harga yang kami tetapkan, maka penjualan gas akan dihentikan. Itu caranya kalau mau, dan kalau berani juga. Saya juga bisa katakan, kalo ada pelanggaran maka China bisa kita sebut 'mencuri'," papar Kurtubi dalam diskusi KAMERAD bertajuk 'Stop Penjualan Gas Murah ke Fujian China', di Warung Daun Cikini, Rabu (12/3/2014).
Dikatakannya, akibat penjualan gas murah yang tak kunjung dinaikan harganya meski harga gas naik, negara mengalami kerugian yang berdampak kepada kesejahteraan rakyat.
Dengan demikian, kata dia, pemerintah harus berani membentuk tim independen yang kredibel dengan anggota yang dipercaya masyarakat internasional. Tugas tim independen itu adalah menginvestigasi proses survei, pembangunan energi tangguh, hingga penjualan gas murah.
Dalam kesempatan itu, Kurtubi juga mengatakan bahwa selama 12 tahun dirinya berjuang untuk menghentikan apa yang dilakukan oleh Indonesia.
"Tahun ini saya mencalonkan diri masuk ke parlemen untuk mengubah hal ini," tuturnya.
Di tempat yang sama, Kepala Urusan Komunikasi dan Publikasi SKK Migas Heru Setyadi mengatakan untuk mengubah kontrak penjualan gas ke China, harus ada kesepakatan antara kedua negara. Karena menurutnya tidak mudah untuk mengubah kontrak tersebut.
"Asumsi untuk harga minyak, kita cari yang terbaik untuk negara. Kontrak itu diubah harus dua belah pihak yang sepakat," katanya.
Ketika itu, kata Heru, pemerintah harus segera membuat keputusan. Karena jika gas itu tidak dijual ke China, Indonesia tidak akan mendapat untung.
"Waktu itu kita mempunyai hubungan baik dengan China. Kalau tidak maka Rp 35 triliun itu tidak akan kita nikmati. Tapi sekarang show must go on," ujarnya.
Adapun pemerintah dinilai lebih senang menjual gas dari Papua ke perusahaan China National Offshore Oil Corporation (CNOOC) dengan harga yang tidak sewajarnya. Penjualan gas ke China hanya 3,5 dollar AS per Metrik British Thermal Unit (MMBTU), sementara harga yang dipatok untuk internasional sebesar 18 dollar AS per MMBTU. Sedangkan harga jual gas di Indonesia justru lebih mahal, yakni 10 dolar AS per MMBTU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar