Kamis, 13 Maret 2014

Gubernur BI Tidak Dapat Dihukum karena Keputusan

Jakarta (Antara) - Terdakwa dugaan korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) kepada Bank Century dan penetapan bank tersebut sebagai bank gagal berdampak sistemik, Budi Mulya menyatakan bahwa Gubernur BI dan jajarannya tidak dapat dihukum karena mengambil keputusan.
"Berdasarkan pasal 45 UU BI, Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi Gubernur dan/atau pejabat Bank Indonesia tidak dapat dihukum karena telah mengambil keputusan atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan wewenangannya sebagaimana dimaksud dalam UU ini sepanjang dilakukan dengan itikad baik," kata tim kuasa hukum Budi Mulya yang dipimpin Luhut M.P Pangaribuan dalam sidang pembacaan nota keberatan (eksepsi) di pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis.
Budi Mulya yang mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa didakwa telah merugikan keuangan negara hingga Rp7,45 triliun karena mengeluarkan FPJP dan pemberian modal sementara bersama pejabat BI lain yaitu Gubernur BI Boediono, Deputi Senior Gubernur BI Miranda Swaray Goeltom, Deputi 5 Siti Chalimah Fadjriah, Deputi 7 Budi Rochadi, Deputi 5 Muliaman Hadad, Deputi 3 Hartadi Agus Sarwono, Deputi 8 Ardhayadi Mitroatmodjo, sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Raden Pardede serta mantan pemilik Bank Century Robert Tantular dan Hermanus Hasan Muslim.
"Perubahan Peraturan BI mengenai FPJP bukanlah perbuatan dari terdakwa sendiri selaku seorang anggota Dewan Gubernur, melainkan diambil dari putusan Rapat Dewan Gubernur yang merupakan forum tertinggi dalam mekanisme pengambilan keputusan di BI yang dihadiri seluruh Dewan Gubernur, karenanya siapa pihak yang bertanggung jawab dalam pemberian FPJP maka hal tersebut kabur," ungkap pengacara.
Budi dalam dakwaan juga disebut mendapatkan satu lembar bilyet giro Bank Century dengan nominal Rp1 miliar dari Robert Tantular pada Juli 2008 sebelum dikeluarkannya FPJP dan bantuan modal ke Bank Century.
"Terdakwa tidak menerima uang begitu saja (uang itu) tapi berdasarkan suatu perjanian perdata yang waktunya berbeda, kemudian adanya perjanjian dengan keputusan pemberian FPJP dikatakan punya hubungan kasualitas dan berlanjut menjadi sangat kabur bila dihubungkan dengan riwayat hidup dari terdakwa Budi Mulya. Tidak mungkin bagi terdakwa yang bertugas dalam bidang operasi moneter mengetahui kondisi bank untuk memiliki kesatuan kehendak dengan Robert Tantular," tambah pengacara.
Menurut Luhut setidaknya ada lima kesimpulan dari keberatannya terhadap surat dakwaan.
"Perbuatan yang didakwaan sebagai melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang berdasarkan sejumlah aturan bukanlah mengatur perbuatan terdakwa tetap perbuatan BI berupa kebijakan secara institusi, bukan Deputi Gubernur bidang Pengelolaan Moneter Devisa secara spesifik," ungkap Luhut.
Artinya bila aturan mengenai BI tersebut dinyatakan sebagai tindak pidana korupsi, maka kebijakan BI selaku bank sentral yang diatur dalam UU dinyatakan sebagai perbuatan kriminal.
Keberatan lain adalah ketidakcocokan wewenang Budi sebagai deputi Gubernur bidang pengelolaan moneter dan devisa dengan Bank Century yang punya masalah struktural.
"Kewenangan yang diuraikan sebagai perbuatan terdakwa merupakan bagian pengawasan bank dalam hal ini wewenang deputi Gubernur bidang pengawasan. Terdakwa sebagai Deputi Gubernur bidang pengelolaan moneter dan devisa sama sekali tidak bersinggungan dengan individual bank seperti Bank Century," jelas Luhut.
Luhut juga mempertanyakan mengenai kehendak konspiratif orang-orang yang disebut dalam dakwaan.
"Dimanakah kehendak konspiratif itu dilakukan dengan masing-masing telah menyadarinya dan siapa yang telah melakukan perbuatan permulaan?" tambah Luhut.
Budi Mulya yang dalam sidang tidak menyampaikan nota keberatannya sendiri, juga tidak berkomentar banyak mengenai persidanganya.
"Saya serahkan bagaimana Pak Luhut dan tim saja," kata Budi setelah sidang.
Luhut juga tidak melihat keharusan agar Wakil Presiden Boediono menjadi saksi Budi Mulya.
"Saya kira tidak relevan dengan eksepsi tadi, soal Boediono kan dia hanya menjawab soal apa yang dia lakukan yang ikut dalam rapat saya kira. Bersama-sama itu ada syaratnya dan tidak memenuhi syarat, harus ada rapat konspiratif begitu. Itu tidak ada," ungkap Luhut.
Jaksa KPK mendakwa Budi Mulya dengan dakwaan primer dari pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP; dan dakwaan subsider dari pasal 3 o Pasal 18 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo pasal 64 ayat (1) KUHP.
Pasal tersebut mengatur tetang penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara. Ancaman pelaku yang terbukti melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.(tp)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar