Selasa, 19 Agustus 2014

Putra Bung Tomo: Indonesia Pendam Luka Politik

Jakarta (Antara) - Putra pahlawan nasional Bung Tomo, Bambang Sulistomo memandang Indonesia saat ini masih memendam luka politik masa lampau, yang pernah ditanamkan bangsa kolonial pada masa penjajahan.
"Sekarang ternyata bangsa ini masih memendam politik masa lampau. Luka politik adu domba yang pernah ditanamkan sejak jaman penjajahan," ujar Bambang kepada Antara di Jakarta, Selasa.


Pernyataan itu disampaikannya menyikapi situasi Pilpres 2014, yang dinilai sarat dengan pertarungan berlandaskan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA).
Dia mengatakan strategi politik adu domba yang biasa diterapkan oleh bangsa kolonial adalah berlandaskan SARA. Hal itu mengakibatkan munculnya kekhawatiran hadirnya diktator mayoritas keagamaan, atau justru berkuasanya tirani minoritas keagamaan di masyarakat.
"Politik adu domba jaman kolonial ini selalu berbasiskan SARA, misalnya mengadu domba antara pribumi dengan orang keturunan, antaragama, serta antarkekuatan politik. Sejak pemilu legislatif hingga pilpres hal-hal seperti ini semakin kental sekali," nilai dia.
Menurut Bambang, pada jaman kolonial, ketika pejuang-pejuang bangsa yang mayoritas beragama Islam melawan kemapanan penjajah yang mengeksploitasi bangsa, maka pejuang-pejuang itu lantas dianaktirikan. Demikian pola politik adu domba yang terjadi kala itu.
Dia merasa telah banyak contoh yang mencerminkan kondisi tersebut saat ini, yang tidak bisa disebutkan secara gamblang.
Misalnya, keberpihakan para pemuka agama kepada capres-capres tertentu, keberpihakan partai-partai agamis ke calon tertentu, keberpihakan media sekuler terhadap calon tertentu, hingga munculnya tudingan-tudingan terhadap capres tertentu melalui salah satu tabloid yang terbit secara mendadak saat Pilpres.
"Yang paling nyata dipermukaan ya isi tabloid itu," kata Bambang.
Menurut pandangannya, konflik terpendam berdasarkan SARA ini bergulir turun-temurun sejak jaman penjajahan, berlanjut pada masa demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin dan masa kepemimpinan Soeharto.
Apabila situasi ini dibiarkan terus-menerus, kata dia, maka akan memicu terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Sehingga menurut dia, Indonesia membutuhkan kekuatan pancasilais untuk segera menghentikan kecurigaan berdasarkan SARA.
Dia menyebut, kekuatan pancasilais ada di dalam dua tokoh bangsa saat ini, namun Bambang mengatakan kedua tokoh itu ternyata ikut terjebak dalam geliat politik yang dilakoni masing-masing capres.
Lebih jauh Bambang mengutarakan bahwa pemimpin Indonesia selama ini tidak mengamalkan pancasila dengan benar. Akibatnya tidak ada teladan bagi rakyat untuk mengamalkan pancasila dengan benar pula.
"Kalau pancasila diamalkan dengan benar, maka lahir masyarakat berbudaya, tertib, berketuhanan, serta landasan hukum yang kokoh dan berkeadilan," tegas Bambang.(rr)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar