Rabu, 13 Agustus 2014

Dipecat dan Dimusuhi, Guru Ini Tetap Nekat Melawan Korupsi

Sampul Sekolah Harapan Sekolah Bebas Korupsi
Guru dan pegawai negeri sipil lainnya gelisah ketika menjelang pemilihan presiden beredar kabar ada kandidat yang berencana menghapus kenaikan pendapatan mereka lewat remunerasi dan gaji ke-13. Tentu saja itu rumor belaka karena capres yang nekat menghapusnya sama saja bunuh diri.

Namun agaknya perlu ditanyakan, guru dan pegawai negeri seperti apakah yang layak menerima remunerasi itu? Bukankah setelah gaji naik, korupsi—bahkan yang terjadi di sekolah-sekolah—juga tak berhenti?


Jauh sebelum program peningkatan kesejahteraan itu ada, seorang guru di Garut, Jawa Barat, Ade Manadin, menunjukkan bukan gaji besar yang membuat dia menjadi pengajar yang luar biasa. Ketika Indonesia Corruption Watch mengampanyekan program Transparansi Anggaran Pendapatan Belanja Sekolah di Garut, ia mengadopsinya buat sekolah masa kecilnya.

Guru ini menantang risiko kehilangan pekerjaan dengan membongkar kasus korupsi di sekolah ketika dia sendiri masih belum mengalami enaknya kenaikan gaji lewat remunerasi.

Berikut ini kisah Ade dalam buku Sekolah Harapan Sekolah Bebas Korupsi:

Selain punya jeruk, dodol, dan kisah nikah kilat bupatinya, Garut juga punya Ade Manadin. Lulusan Sekolah Guru Olah Raga ini sehari-harinya tak mengajar, tapi berdagang keliling menjajakan alat keperluan pendidikan dari sekolah ke sekolah.

Bukan karena dia tak cakap jadi guru, tapi dia yang berstatus guru bantu nekat membongkar korupsi dana operasional di sekolah tempatnya bekerja. Akibatnya, sepuluh tahun jadi sukarelawan di sekolah itu, bukannya diangkat jadi guru tetap, Ade malah dipecat.

Uang hasil jualan itu ditabung buat meneruskan sekolah ke IKIP Bandung. Lulus dari sana, ia pulang ke Garut, kembali jadi guru sukarelawan.

Kali ini pun dia dicap pemberontak. Pasalnya dia kerap memimpin unjuk rasa memperjuangkan  hak-hak guru sukarelawan.

Ade lalu ikut seleksi jadi guru pegawai negeri sipil. Seorang pejabat dinas pendidikan Kecamatan Pakenjeng, Garut, menyumpahi guru pemberontak ini tidak lulus. Ade mendatanginya sekadar menyampaikan kabar bahwa ia lolos seleksi.

Ade tak berhenti menyuarakan protes terhadap korupsi. Saat mendapati penyimpangan dana hibah pembangunan sekolah dari Bank Dunia, Ade membawa temuannya ke media.

“Mengapa saya harus takut bila benar?” kata Ade. “Saya tetap bisa cari makan sekalipun dipecat dari pegawai negeri.”

Hidup membawanya mengajar ke sekolah masa kecilnya, SD Tegal Gede 2. Dulu sekolah itu cuma berdinding bambu dan lantainya tanah.

Di sekolah itu dulu Ade memupuk impiannya menjadi guru. Anak petani di Kabupaten Garut ini dilarang melanjutkan sekolah selepas SD karena orangtuanya mau dia langsung bekerja.

Tapi dia diam-diam mendaftar ke SMP di Pakenjeng. Dua jam lamanya dia berjalan kaki ke sekolah itu. Agar seragam dan sepatunya tak hancur dimakan perjalanan di medan berat itu, Ade menitipkannya di sekolah. Usai sekolah ia mencari uang buat bayaran sekolah dengan membantu pedagang di pasar.

Lulus SMP, Ade mendaftar ke Sekolah Guru Olah Raga. Karena sekolah itu ada di Kabupaten Tasikmalaya, ia butuh uang lebih banyak yang dicarinya dengan jadi kuli angkut di pasar.

Ketika kembali ke SD Tegal Gede 2, kondisinya tak lebih baik dari sewaktu ia bersekolah di sana. Saking parahnya, orang tua kompleks di sekitar sekolah tak mau mendaftarkan anaknya ke sana.

Ade mengusulkan kepada Kepala Sekolah SD Tegal Gede 2, Kaspi, agar membuat program transparansi anggaran sehingga masyarakat mau berpartisipasi membantu pembangunan sekolah. Kaspi mendukung ide itu dan masyarakat mau membantu karena penggunaan dananya jelas sehingga perlahan fasilitas sekolah itu membaik.

Kekurangan fasilitas sekolah pun dibantu oleh Ade. Murid-murid bebas meminjam dua unit komputer di rumahnya.

Agar lulusan SD itu tak perlu bersekolah ke SMP yang jauh seperti dia dulu, Ade membuat SMP Terbuka pada 2000. Ade sengaja tak memberitahu ke muridnya bahwa itu SMP Terbuka agar setidaknya anak-anak tak ragu melanjutkan sekolah.

Ketika SMP Terbuka itu dibuat jadi SMP Negeri, Ade memilih bertahan di SD. Padahal dia berpeluang besar buat jadi kepala sekolah. “Saya tidak mengejar jabatan,” ujarnya.

Agar tak menggantungkan hidup dari gaji guru yang dulu tak seberapa, Ade menambah pendapatan dari berdagang hasil kebun, konveksi, dan masih meneruskan berjualan alat-alat pendidikan. “Saya percaya guru pegawai negeri  yang mendapat tunjangan profesi dan tinggal di desa dapat hidup layak tanpa perlu korupsi,” kata Ade.



***

Selengkapnya dapat dibaca di buku:

Judul:
Sekolah Harapan Sekolah Bebas Korupsi
Pengarang:
Bambang Wisudo dkk.
Penerbit:
ICW-Sekolah Tanpa Batas -HIVOS, 2011
Tebal:
305 halaman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar