Selasa, 01 April 2014

Hikmahanto: 3 Alasan pemerintah tak perlu bayar diyat Satinah

MERDEKA.COM. Pakar hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan pemerintah tidak perlu membayar diyat untuk TKI Satinah yang kini terancam hukuman pancung di Arab Saudi. Menurut Hikmahanto, ada tiga alasan mengapa pemerintah tidak harus membayar uang darah tersebut.

"Pertama, harus dipahami bahwa diyat merupakan uang yang harus dibayarkan oleh pelaku kejahatan atau keluarganya, bukan oleh pemerintah," kata Hikmahanto, yang juga Guru Besar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) seperti dikutip dari Antara, Senin (31/3).

Menurut Hikmahanto, uang diyat ini sebagai imbalan bagi pemberian maaf dari keluarga korban kepada pelaku, sehingga diyat tidak seharusnya dibayarkan oleh pemerintah dalam konteks perlindungan warga negara.

Kalau masyarakat di Indonesia ada yang bersimpati terhadap nasib Satinah, katanya, tentu mereka bisa melakukan pengumpulan dana. "Dana inilah yang disampaikan kepada keluarga Satinah untuk dibayarkan kepada keluarga korban di Arab Saudi," ucapnya.

Bila pemerintah telah mengalokasikan dana, katanya, maka dana tersebut merupakan sumbangan dari pemerintah. Bukan sebaliknya pemerintah yang membayar diyat dan kekurangannya ditutupi oleh sumbangan dari masyarakat.

Kedua, kata Hikmahanto, bila pemerintah yang membayar diyat maka ke depan akan ada tuntutan untuk terus menaikkan nilai diyat dari keluarga korban kejahatan yang dilakukan oleh WNI.

"Kondisi ini tentu tidak baik. Pemerintah akan diperas secara terselubung oleh keluarga korban. Bahkan pemerintah negara lain yang memiliki warga yang melakukan pembunuhan di Arab Saudi akan terkena dampaknya. Mereka pun akan 'diperas'," katanya.

Bila tidak melakukannya, publik mereka akan mengkritik dengan merujuk pada tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia bak pahlawan bagi warganya.

Terakhir atau ketiga, ujar Hikmahanto, adalah tidak adil bagi masyarakat di Indonesia yang lain bila uang negara harus digunakan untuk membayar diyat. Bila nilainya fantastis dan setiap kali pemerintah yang harus membayar maka ini menghilangkan hak banyak warga negara untuk mendapat kesejahteraan.

"Perlu diingat TKI yang terancam hukuman mati saat ini lebih dari 30. Bila dari jumlah ini keluarga korban meminta nilai diyat yang fantastis, apakah ini tidak akan menggerus APBN," katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar