Senin, 07 Juli 2014

Tjipto Mangoenkoesoemo, Dokter Antifasis

NAMANYA dikenal luas karena diabadikan menjadi nama rumahsakit di Jakarta: Tjipto Mangoenkoesoemo. Di usia 13 tahun (lahir 1886), dia masuk Sekolah Dokter Pribumi (STOVIA). Setelah lulus tahun 1905, dia menjadi dokter pemerintah dan berhasil memerangi penyakit pes di Malang, Jawa Timur. Karena jasanya pemerintah kolonial Belanda memberinya penghargaan Willem Klas 3, namun dia tolak.
Tjipto kemudian mundur sebagai dokter pemerintah dan terjun berpolitik. Dalam rapat Pengurus Besar Budi Utomo di Yogyakarta 9 September 1909, dia gigih mengusulkan agar Budi Utomo menjadi organisasi politik yang memperjuangkan kebangsaan dan membuka pintu selebar-lebarnya bagi siapapun yang ingin bergerak dalam politik kebangsaan.
“Dari kebangsaan-kedaerahan, Dokter Cipto menuju ke arah kebangsaan yang lebih besar, yakni kebangsaan Hindia,” tulis Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional Volume I. Usulnya ditolak, Tjipto meletakkan jabatan sebagai Komisaris Pengurus Besar sekaligus mengundurkan diri dari Budi Utomo.
Pada 1912, Tjipto bersama Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat mendirikan Indische Partij. Sebagai pemimpin suratkabar De Express di Bandung, dia menerbitkan tulisan Soewardi Soerjaningrat: “Als Ik Een Nederlander was” (Andai saya seorang Belanda). Tulisan ini mengkritik tindakan Kerajaan Belanda yang berulang tahun kemerdekaan ke-100 dari Prancis, 21-23 Maret 1913, namun dengan cara menggalang dana di Hindia Belanda. Akibatnya, trio Indische Partij itu dibuang ke Belanda.
Pada 1914, Tjipto kembali ke Jawa karena penyakit asma dan serangan syaraf yang dideritanya selama di Belanda. Namun, penyakit itu tak mengendurkan semangatnya berpolitik. Dia menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) dan ikut dalam pemogokan petani perkebunan di Polanharjo, Klaten, pada 1919. Dia kembali menjalani pembuangan di Banda Neira selama 14 tahun sejak 1927 karena dituduh terlibat persekongkolan pemberontakan.
Meski menentang kolonialisme Belanda, Tjipto lebih mengkhawatirkan fasisme. Ketika Jerman menduduki Belanda pada 1940, dia berbalik menunjukkan simpati kepada Belanda. Dia mengirim surat ke majalah politik Nationale Commentaren yang dipimpin oleh Sam Ratulangi: “Perjuangan di Eropa sekarang itu ialah perjuangan antara demokrasi dengan totalitarianisme. Dalam perjuangan semacam itu tidak salah kita memilih, di manakah akan diletakkan perasaan simpati kita. Sudah tentu di pihak demokrasi.” Dia pun menganjurkan, “sekarang kita lebih baik tolong lawan kita itu, Holland…” Atas sikapnya ini, dia diejek sebagai orangtua yang pikun.
Begitu pula ketika Jepang masuk ke Hindia Belanda, Tjipto mengimbau rakyat agar membantu pemerintah Belanda. Namun, Sutan Sjahrir yang juga menentang fasisme Jepang menilai sikap Tjipto tak hanya didasarkan atas pertimbangan politik tapi juga karena kesehatannya yang memudar.
Tjipto menunjukkan komitmennya menetang fasisme Jepang dengan menjadi tuan rumah di Selabintana Sukabumi untuk membentuk Gerakan Anti Fasis (Geraf) pada Mei 1940, yang dipimpin Amir Sjarifuddin. Penasihat Geraf ini menolak permintaan kawan lamanya, Ki Hajar Dewantara, untuk bergabung dalam Pusat Tenaga Rakyat (Putera) bentukan Jepang. (Baca: Geraf Bergerak)
Kesehatan Tjipto memburuk. Pada 8 Maret 1943 dia menghembuskan nafas terakhir di saat Jepang masih menancapkan fasismenya di Indonesia.
(Historia - Aryono)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar