Senin, 07 Juli 2014

Anti Fasis Geraf Bergerak

Dengan dukungan dana dari Belanda, Amir Sjarifuddin menyusun organisasi bawah tanah yang menentang fasisme Jepang.
BELANDA menyadari keunggulan Jepang. Kekalahan sudah pasti, namun Belanda tak ingin menyerah. Belanda mencari cara agar tetap bisa melawan Jepang. Charles van der Plass, mantan Gubernur Jawa Timur, kemudian ditugasi untuk membangun sebuah gerakan bawah tanah.

Namun van der Plass kurang memiliki hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia. P.J.A. Idenburg, mantan Sekretaris Kabinet Gubernur Jenderal, mengusulkan agar memilih Amir Sjarifuddin, pegawai Departemen Ekonomi di Batavia yang jadi pendiri Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
Pembentukan Gerindo pada Mei 1937 merupakan respons terhadap bahaya fasisme yang mengancam demokrasi. Gerindo ibarat partai pelarian aktivis-aktivis dari semua partai yang dilarang pemerintah. Sesuai kebijakan Komintern (Komunis Internasional), tulis Wilson dalam Orang dan Partai Nazi di Indonesia, “Gerindo membuka diri kepada semua kekuatan sosial politik, termasuk kerja sama dengan pemerintah kolonial untuk menggalang kekuatan massa menyambut bahaya fasisme.”
Pada 1939 Gerindo, berkoalisi dengan Parindra dan PSII, membentuk Gabungan Politik Indonesia (Gapi), yang menawarkan kerja sama kepada pemerintah Belanda agar membentuk milisi yang akan menghadapi fasisme. “Tampaknya tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk menanggapi usulan Gapi,” tulis Wilson, “dan Ratu menyatakan penolakannya.” Meski demikian, Gerindo tetap membentuk Barisan Pemuda Gerindo yang melakukan latihan militer.
Pada 1940, ketika ditangkap karena aktivitasnya dalam PKI ilegal, Amir ditawari pilihan: dibuang ke gulag Digul atau bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Amir memilih yang kedua. Belanda memberikan uang sebanyak 25.000 gulden untuk menyusun jaringan bawah tanahnya. Amir mencari hubungan kerjasama dengan Pamudji, melalui Atmadji, yang telah dikenalnya dengan baik sebagai sesama anggota Gerindo Surabaya.
Pada Mei 1940, sebuah pertemuan dilakukan di Rawamangun, Jakarta. Hadir dalam pertemuan ini dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Pamudji (PKI ilegal), Subekti dan Atmaji (Gerindo), Sujoko (Barisan Rakyat Solo), Armunanto (Persatuan Sopir Indonesia, pernah kontak dengan PKI 1935 yang didirikan oleh Musso), Widarta (Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia, seorang komunis), Kiai Haji Zaenal Mustofa (pimpinan pondok pesantren di Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat), serta Liem Koen Hian (dekat dengan grup Tan Ling Djie dan Oei Gee Hwat yang merupakan sel PKI di kalangan keturunan Tionghoa). “Pertemuan ini kemudian memunculkan organisasi Gerakan Rakyat Antifasis (Geraf),” tulis Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Keberadaan Geraf sejalan dengan taktik front rakyat.
Menjelang invasi Jepang, pertemuan kedua di rumah Tjipto Mangunkusumo di Sukabumi berhasil membentuk pimpinan Geraf yang terdiri atas Amir, Pamudji, Sukajat, Armunanto, dan Widarta. Sedangkan Tjipto sebagai penasihat. Setelah itu terbentuklah cabang-cabang Geraf di Jakarta, Jawa Barat, dan hampir di setiap kota di Jawa. Basis utamanya berada di Surabaya. “Gerakan bawah tanah Amir ini adalah gerakan bawah tanah yang terbesar di antara gerakan bawah tanah lainnya,” tulis Frederiek Djara Wellem dalam Amir Sjarifoeddin: Tempatnya dalam Kekristenan dan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia.
Namun, menurut Gie, tak jelas apakah Geraf merupakan organisasi baru yang dibuat Amir atau hanya salah satu sel yang dibinanya. Sampai seberapa jauh kebenaran aktivitas Geraf juga tak dapat dicek karena sumber tentang Geraf hanya berasal dari Sidik Kertapati dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Sidik menulis buku tersebut semata untuk propaganda politis daripada sebuah usaha menuliskan sejarah. “Hatta sendiri,” tulis Gie, “tidak pernah mendengar tentang Geraf dan tidak percaya jika dr. Tjipto yang dikenalnya secara baik mau bergabung dalam gerakan komunis.” Sepertinya Hatta yang kelak akan menyelamatkan Amir menganggap Amir bergerak dalam PKI, bukan Geraf. Terlepas dari itu, Jepang telah menetapkan Geraf sebagai kelompok berbahaya dan harus dilumpuhkan.
Segera setelah menduduki Indonesia, Jepang mengambil-alih aparatur pemerintah Belanda yang terdiri dari orang Indonesia. Orang-orang yang bekerja sebagai mata-mata dan tergabung dalam polisi rahasia Belanda (PID), tulis Slamet Muljana, juga ikut ditarik untuk membantu kelancaran pemerintahan baru. Dalam waktu tak terlalu lama, Jepang memiliki gambaran jelas tentang berbagai aliran di Indonesia dan bagaimana sikap mereka terhadap Jepang. Gerakan bawah tanah yang mengadakan kontak dengan pemerintah Hindia Belanda pun terbongkar. Penangkapan dimulai.
“Kejadian ini dapat ditafsirkan sebagai terbongkarnya jaringan suatu organisasi antifasisme Jepang yang sedikit banyak mempunyai hubungan dengan Amir. Terutama dari sisa-sisa hidup kelompok inilah Amir, kelak ketika menjadi Menteri Pertahanan, mengangkat para pembantunya yang terdekat,” tulis Jacques Leclerc dalam Amir Sjarifuddin: Antara Negara dan Revolusi.
Amir sendiri menjadi buronan utama polisi rahasi Jepang (kempeitai). Dia, tulis Wellem, hampir tak bisa dikenali lagi karena memelihara janggut dan kumis. Namun akhirnya dia tertangkap dan dimasukkan ke penjara, dari Kalisosok Surabaya, Salemba, Glodok, Cipinang,   Sukamiskin Bandung, Salemba, dan kembali lagi ke Kalisosok. Ini ditempuh Jepang untuk mencegah pendukung Amir meloloskannya dari penjara. “Dalam tahanan,” tulis Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional Volume 2,  “Amir disiksa di luar perikemanusiaan. Badannya kurus, kering, dan tinggal tulang semata.” Amir dikenai hukuman mati, meski kemudian diubah menjadi hukuman seumur hidup.
Sel Geraf yang dipimpin Kiai Haji Zaenal Mustofa juga bernasib buruk. Kiai Mustofa dan santrinya tewas dalam perlawanan bersenjata di Singaparna, Jawa Barat, karena menentang penghormatan kepada matahari (seikerei) dan Kaisar Jepang. Subekti yang memimpin sel Geraf Indramayu, Jawa Barat, juga tewas dalam bentrokan dengan Jepang.
Sel Geraf yang masih bergerak adalah yang dipimpin Widarta dan Hendromartono, seorang pemimpin buruh. Widarta, sekretaris Geraf yang juga generasi ketiga yang memimpin PKI, lolos dari penangkapan. Ironisnya, Widarta yang terlibat dalam revolusi Tiga Daerah (Brebes, Tegal, Pemalang) antara Oktober sampai Desember 1945, kemudian dieksekusi mati oleh mahkamah PKI yang dipimpin Amir Sjarifuddin.
Sepertinya keraguan Gie terhadap Geraf mendapatkan jawabannya. Dalam Madiun 1948: PKI Bergerak, Harry Poeze menyebut Geraf sebagai “organisasi yang tak berbentuk”. HENDRI F. ISNAENI - Historia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar