Jumat, 18 April 2014

Pelaku pencabulan harus diberi tato khusus di badan supaya jera

MERDEKA.COM. Kejadian tindak pelecehan seksual terhadap anak terjadi di Taman Kanak-Kanak pada Sekolah International Jakarta (Jakarta International School/JIS) yang terungkap baru-baru ini membikin terkejut banyak orang. Bahkan dikhawatirkan pelaku bakal mengulangi perbuatannya jika kembali ke masyarakat usai menjalani masa hukuman.

Ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel sumbang saran soal ini. Menurut dia, ada beberapa langkah jitu bisa diterapkan guna membatasi para pelaku kejahatan seksual terhadap anak-anak.

Dari segi aturan hukum, Reza menyarankan supaya penegak hukum tidak hanya berpatokan pada hukuman dalam pasal-pasal pidana. Sebab, lanjut dia, jika ingin membuat jera pelaku, maka hamba hukum harus mengombinasikan antara aturan dengan akibat kejahatan itu terhadap masyarakat.

"Karena peristiwa ini membuat geger masyarakat dan dampaknya menyakitkan, maka menurut saya penegak hukum jangan hanya mengacu kepada KUHP. Mari pakai pola pikir kejahatan itu kejam dan berat. Kalau dengan cara itu hukumannya mungkin bisa lebih dari 15 tahun penjara," kata Reza kepada merdeka.com saat dihubungi melalui telepon selulernya, Rabu (16/4).

Kedua, lanjut Reza, para pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak juga mesti dibuat jera dengan sanksi sosial. Meski begitu, tambahnya, dia mengakui sampai saat ini belum ada formula jitu mengubah perilaku mereka dan menjamin kelak kalau mereka kembali ke masyarakat peristiwa itu tidak akan terulang.

Reza mengatakan, karena penanganan dari sisi hukum tidak cukup, maka harus ada sanksi sosial yang terlembaga. Dia mencontohkan seperti di Australia. Di negeri kanguru itu, negara menyebarkan peringatan masyarakat (public notice) atas pelaku kejahatan seksual. Semua data diri pelaku mulai dari nama hingga tempat tinggal tercantum dalam peringatan itu. Hal itu dilakukan supaya masyarakat waspada terhadap pelaku, meski sudah menjalani masa hukuman. Tetapi buat dia, masih ada lagi cara yang lebih 'brutal' supaya pelaku kejahatan seksual kapok.

"Seiring public notice, di Kartu Tanda Penduduk pelaku kejahatan seksual bisa diberikan tanda khusus. Kalau mau lebih kejam dan brutal lagi, di bagian tubuh pelaku yang terbuka diberikan rajah khusus sebagai tanda dia adalah pelaku kejahatan seksual. Supaya orang-orang sadar," ujar Reza.

Kemudian, Reza juga mengingatkan supaya pihak sekolah mawas diri. Menurut dia, kejadian ini membuktikan kalau sampai saat ini belum ada satu pun sekolah yang bisa menjamin lingkungan mereka bebas dari kejahatan. Bahkan, lanjutnya, negara bisa campur tangan dalam masalah ini dengan menggunakan 'kuncian' akreditasi.

"Sekolah manapun kalau terbukti tidak aman misalnya, pemerintah bisa menurunkan akreditasinya," lanjut Reza.

Namun, Reza menyayangkan sikap polisi yang buru-buru menuding pelaku kejahatan itu mengidap kelainan seksual pedofilia. Menurut analisanya justru si pelaku normal karena memiliki orientasi seksual terhadap orang dewasa, tapi melampiaskannya kepada anak-anak. Sementara dalam kasus pedofilia, pelaku memang memiliki penyimpangan karena hanya tertarik dengan anak-anak.

"Kalau saya enggak setuju ini pedofilia. Kalau kasus ini dugaan saya ketertarikan seksnya pelaku terhadap orang dewasa. Jauh lebih tepat disebut kekerasan seksual terhadap anak. Kenapa polisi capek-capek menyatakan hal itu? Mestinya polisi berani asumsi saja orang ini normal, waras. Karena dalam psikologi forensik, definisi pedofilia, homoseks, dan child abuse sangat berbeda," ucap Reza.

Sumber: Merdeka.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar